Buih air
membasahi pasir putih yang mulai berubah jadi kecoklatan karena cemaran hulu.
Kakiku, juga basah dan agak lengket dengan pasir di sela jemari kakiku. Tapi
kedua kakiku terus melangkah bersama mengiringi langkah dua kakimu yang lebih kecil
daripadaku. Kau pegang erat tanganku bagai dokter sudah menyambung kedua tangan
kita hingga takkan lepas. Angin menghembus wajahmu dan mengurai rambutmu
membelahnya juga mengurainya tapi tetap indah.
“kita main
kejar – kejaran gimana?” tanyamu.
Aku
mengangguk tanda setuju, hitungan kesatu langkahmu pun menjauh kau berlari.
Kedua kakiku lalu ikut membayangi pergimu, mengejarmu hingga keujung pantai,
lalu kau berbalik arah, dan kita mendekat, ah kita berpegang lagi.
“kamu tau?
Mainan ini yang kumau.” Ucapmu.
Entah, aku
masih mencoba menerka apa arti dari puluhan huruf terlontar dibalut intonasi
antusias yang diucapkan lewat gerakan lidah dan getaran pita suaramu. Ayolah
jadi apa maksudnya? Haruskah kita main kejar – kejaran lagi?
“aku ingin
terikat seperti ini, kadang kita erat, lalu ada kalanya aku pergi berlari jauh,
tapi kau mencariku.” Jelasmu.
“lalu saat
kau mengejarku, akan kuputar badanku kembali ke arahmu, kita pun bertemu dan berpegang
erat lagi.”. lanjutmu.
Selesai kata
terakhir mengalir dari bibirmu yang setengah mengatup, kau pun kembali pergi
dari genggamanku. Lari mu lebih kencang, langkah mu lebih besar. Aku mengejar
lebih keras, lebih cepat, mengambil nafas terasa lebih dalam dari sebelumnya.
Jarak kita semakin jauh, jauh hingga ujung kepalamu bahkan aku tak dapat
melihatnya, sekalipun di sudut mataku.
Pastinya kau
akan datang, dan kembali ke arahku. Berhentilah langkahku mengayun karena sesak
di dada mulai menyempitkan tenggorok. Aku pun terduduk, terngiang dan meresap
kata – katamu tadi, “lalu saat kau mengejarku, akan kuputar badanku kembali ke
arahmu, kita pun bertemu dan berpegang erat lagi.”.
Hingga
petang tiba, bayangku jatuh sendiri di pasir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar